Senin, 13 Oktober 2014

Berita Bazar

Surabaya - Bazar hari minggu di RT 07 RW IV Pabrik Kulit, Kecamatan Wonocolo, Jawa Timur, berlangsung meriah. Bahkan pengunjung berjubel demi mendapatkan sejumlah kebutuhan pokok.
“Alhamdulillah. Ini bersyukur banget bisa mendapatkan jilbab paris murah,” kata Indah, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.
Menurutnya, jilbab paris yang murah itu bermacam-macam warna dan bermotif-motif. Ini bisa didapatkan dengan harga yang murah. Jenis kebutuhan diantaranya ungu, merah, hitam dan sebagainya. Kalau yang ungu bermotif bunga Rp 25 ribu dijual Rp 16 ribu, merah bermotif kartun Rp 45 ribu dijual Rp 20 ribu dan hitam paris polos seharga Rp 15 ribu dijual Rp 11 ribu.
Joni, Ketua RW IV, mengatakan kegiatan ini sudah rutin setiap hari minggu. Hal ini juga sebagai upaya membantu warga dan Mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan hari minggu dan untuk kesenangan di dalam hari libur bagi warga dan Mahasiswa yang membutuhkan.
Darsono, Ketua Panitia Pelaksana, mengatakan kegiatan bazar dilaksanakan merupakan rangkaian kegiatan kerjasama untuk kebutuhan warga sekitar. “Ada 40 stand kurang lebih, dan sebagian merupakan kreasi warga sendiri,” katanya.
Bazar hari minggu ini sekaligus menjadikan momen kebersamaan warga RW IV yang sangat aktif dalam kegiatan kemasyarakatannya. Dan ini sangat membantu sekali dalam kebutuhan warga dan Mahasiswi sekitar.  

Rabu, 01 Oktober 2014

Filsafat Islam (Al-Farabi)




  1. Biografi Al-Farabi

Abu Muhammad Al-Farabi (870-950 M). Beliau seorang muslim keturunan persi.
Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Beliau dilahirkan pada tahun 257 H/ 870 M.[1] Sebutan Al-Farabi diambil dari kata Farab, ayah beliau adalah seorang Iran dan kawin dengan wanita Turkestan. Kemudian beliau menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
            Sejak kecil Al-Farabi suka belajar dan beliau mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasai oleh beliau antara lain ialah bahasa-bahasa Iran,Turkestan, dan Kurdistan. Beliau tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa Ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.
            Setelah besar, beliau meninggalkan negrinya untuk menuju baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di baghdad beliau memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.[2] Al-farabi merupakan bintang terkemuka dikalangan filosof muslim. Ternyata informasi tentang beliau sangat terbatas. Beliau tidak merekam lika-liku kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke baghdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Beliau belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-saraj dan belajar logika serta filsafat kepada seorang kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke baghdad untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas uku-buku filsafat.[3]
            Pada tahun 330 H (941 m), beliau pindah ke damsyik, dan disini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifudaulah, Khalifah dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehingga beliau diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337H (950 M) pada usia 80 tahun.[4]
            Sebagai filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Pada pihak lain, dimasa itu belum ada pemilahan dalam buku-buku antara sain dan filsafat. Berdasarkan karya tulisnya filosof muslim keturunan persia ini menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa dan lain-lainnya. Khusus bahasa , menurut riwayat Al-Farabi menguasai 70 bahasa. Riwayat ini, menurut Ibrahim Madkur lebih mendekati dongeng ketimang kenyataan yang sebenarnya.




B. Karya-Karya Tulis Al-Farabi

            Diantara karya-karya tulis Al-farabi ialah :
  1. Aghadlu ma Ba’da at-thabi’ah
  2. Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain
  3. Tahsil as-Sa’adah (mencari kebahagiaan)
  4. Uyun ul-Masail (pokok-pokok persoalan)
  5. Ih-sha’u al-Ulum (statistik Ilmu)
  6. Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadilah (pemikiran-pemikiran penduduk kota Utama Negeri Utama)
  7. Risalat fi Isbat al-Mufaraqat
  8. Maqalat fi aqhradh ma ba’d al-Thabi’at
  9. Maqalat fi Ma’any al-Aql
  10. Fushul al-Hukm
  11. Al-Siyasat al-Madaniyah
  12. Risalah al-Aql .[5]
  13. Syuruh Risalah Zainun al-Yunani
  14. Al-Ta’liqat
  15. Risalah fi ma Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi al-Falsafah
  16. Al-Masa’il al-Falsafiyah wa al-ajwibiyah anha
  17. Al-ibanah an Ghardi Aristo fi kitab ma’Ba’da al-Thabi’ah[6]

C. Pemikiran Al-Farabi

Al-Farabi  merupakan orang pertama yang berhasil mengklasifikasikan disiplin     ilmu pengetahuan pada masanya. Beliau membukukan klasifikasi keilmuan itu dalam sebuah karya monumental yang di namakan sebagai Ikhsha’u al-ilm.[7] Al-Farabi datang di tengah setting sosio-historis peradapan Islam yang compang-camping. Peradapan Islam yang dulunya merupakan peradapan sentral, pada masa Al-Farabi mulai terpecah belah. Tidak ada kesatuan baik dari segi politik, ideologi maupun pemikiran. Kondisi semacam ini akhirnya mendorong Al-Farabi untuk menyatukan segala bentuk epistem maupun ideologi yang berkembang pada masanya. Upaya tersebut dilakukan melalui penanaman filsafat dan ilmu logika dalam peradapan Arab Islam. Hanya dengan cara itu segala bentuk polemik dan perpecahan dalam peradapan Islam dapat terselesaikan.
Upaya harmonisasi itu dimulai dengan penyatuan pemikiran filsafat Aristoteles dan Plato. Al- Farabi berusaha menghilangkan semua bias perbedaan yang ada dalam dua pemikiran tersebut. Beliau menganggap bahwa perbedaan antara Aristoteles dan Plato, hanya pada tatanan metodologi dan tidak sampai pada tatanan konklusi.
Al-Farabi merupakan seorang filosof yang hidup ditengah-tengah perselisihan dan perpecahan umat Islam. Perpecahan tersebut disebabkan oleh perbedaan perspekif keabadian alam dan permasalahan metafisika lainya. Mereka menganggap Aristoteles dan Plato berselisih dalam permasalahan metafisika. Sehingga untuk menyatukan persepektif umat Islam, maka kedua filosof  besar itu harus di satukan. Ini mengingat pengaruh ke duannya sangat besar dalam peradaban Islam.[8] Aristoteles  dan Plato merupakan acuan terpenting dalam filsafat Islam dan perkembangannya ke depan. Dengan kata lain Al-Farabi menyatukan  pemikiran Aristoteles dan Plato bukan hanya karena dua pemikiran tersebut, melainkan demi tujuan lain yang lebih urgen, yaitu penyatuan semua bentuk pemikiran yang berkembang pada masanya. Melalui cara itu Al-Farabi berusaha menyatukan cara pandang umat Islam dalam menyikapi problem keagamaan, filsafat, politik dan sosial kemasyarakatan. Penyatuan dua filsafat besar itu diharapkan mampu memberikan perspektif kolektif dalam peradapan Islam. Bahwa filsafat tidak bersebrangan dengan ajaran Islam. Sebab, Plato merupakan reprensertasi dari pemikiran agama, sedangkan Aristoteles adalah representasi dari pemikiran demostratif rasionalis. Artinya, tidak ada pertentangan antara rasio dengan wahyu Tuhan.[9] Pengetahuan dan akal manusia memiliki titik kesamaan  dan kesatuan.
Keinginan menyatukan persepektif itu, secara tidak langsung menunjukkan adanya perselisihan antara kekuatan yang tidak mungkin di tundukkan. Tidak ada jalan lain bagi Al-Farabi kecuali menyatukan kekuatan-kekuatan itu melalui penyatuan pemikiran. Dengan menyatukan antara agama dengan filsafat, ilmu logika dengan gramatika bahasa arab, serta menyatukan epistemologi bayani, irfani dan burbani, integratasi peradapan Islam dapat di wujudkan kembali.
Dalam membahas pemikiran Al-Farabi ini membagi pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika, akal, jiwa dan lain sebagainya.
  1. Metafisika

          Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep wajib dan Mungkin.[9] Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :          
  1. mukmin wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainya, seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalo sekirannya tidak ada matahari.
  2. Wajibul wujud lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya, wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya, ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud.
  3. Kata Al-farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak. Semua yang terjadi di alam semesta selalu bererak yang pada gilirannya, bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak  tetapi bertindak sebagai penggerak. [10]

II.                jiwa
           jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqal. Ia berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar dan bergerak. Dalam jiwa manusia ini mempunyai daya gerak (makan, memelihara dan berkembang), daya mengetahui ( al-mudrikat) daya ini mendorong untuk merasa dan berimajinasi, daya berpikir (al-nathiqat) daya ini mendorong untuk berpikir secara teoretis dan praktis, daya teoritis ini dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu : akal potensial (akal yang baru mempunyai potensi berpikir), akal aktual ( akal yang telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya,bukan lagi dalam bentuk potensial tetapi sudah dalam bentuk aktual), akal mustafad ( akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal ke sepuluh). [11]

III.             Akal
            Telah di sebutkan bahwa akal,menurut Al-Farabi ada tiga jenis. Pertama, Allah sebagai Akal; kedua, akal-akal dalam filsafat emanasi,satu sampek sepuluh; ketiga, akal yang terdapat pada diri manusia. Akal yang jenis pertama dan kedua tidak berfisik (imateri/rohani) dan tidak menempati fisik. Namun antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, Allah sebagai akal adalah pencipta dan Esa semutlak-mutlaknya, maha sempurnah dan tidak mengandung pluralitis. Adapun jenis akal yang kedua yakni, akal-akal pada filsafat emanasi, akal pertama esa pada zatnya,tetapi dalam dirinya mengandung keanekaan potensial. Ia diciptakan oleh Allah sebagai akal, maka objek ta’aqqul-nya ( juga akal-akal lainnya) tidaklah lagi satu,tetapi sudah dua:Allah sebagai wajib al-wujud dan dirinya sebagai mukmin al-wujud. Jenis akal ketiga ialah akal sebagai daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal jenis ini juga tidak berfisik, tetapi bertempat pada materi. Akal ini bertingkat-tingkat yang terdiri dari Akal potensial, Akal Aktual, dan Akal Mustafad.





IV  Kenabian

            Karena pada masa Al-Farabi pemikiran yang berkembang mengenai kenabian adalah menolak akan kenabian seperti pemikiran Ahmad ibn ishaq al-Ruwandi dan  Zakaria al-Razi, yang menolak akan eksistensi Kenabian. Maka Al-Farabi yang memiliki pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi kenabian membuat Al-Farabi mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun Al-Farabi dikenal sebagai seorang yang rasionalis namun hal itu bukan berarti ia menolak eksistensi wahyu Tuhan dan Kenabian. Menurutnya Adanya Nabi dan Rasul yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan potensi jiwa mereka terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam menangkap informasi secara utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang yang unggul dari orang lain. Dengan demikian  tidak mustahil bahwa ada orang yang hatinya mampu menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup. kemudian menurut Al-Farabi ciri khas seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi mempunyai daya imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi diluar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui aql fa’al ia mampu berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan,  karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang sudah terlatih  dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf tidak sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak semua filsuf itu nabi. Karena adanya unsur pilihan. Kembali menurut Al-Farabi bahwa karena nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan.
        V. Emanasi
             Teori emanasi sebagai basis kosmologi. Artinya bahwa alam semesta ini tercipta sebagai hasil proses emanasi yang tersusun dalam hierarki-hierarki. Mulai dari Tuhan yang tertinggi. bahkan melampaui batas apa pun melewati wujud immaterial murni di bawahnya, hingga wujud paling rendah dari bagian material alam semesta. Menurut teori emanasi ini, wujud Tuhan sebagai suatu wujud intelegensi (akal) mutlak yang berpikir  tentang dirinya, "sebelum" adanya wujud-wujud selain-Nya secara otomatis menghasilkan (memancarkan). Dan akal pertama sebagai hasil pertama proses berpikirnya. Menurut hadits qudsi, Allah Swt, berfirman: Yang pertama kali aku ciptakan adalah Sang Akal (pertama). Pada gilirannya, Sang Akal  sebagai akal  berpikir tentang Allah dan, sebagai hasilnya, terpancarlah Akal kedua. Proses ini berjalan terus hingga berturut-turut terciptalah Akal Ketiga, Akal Keempat, Akal Kelima, dan seterusnya hingga Akal Sepuluh. Akal Sepuluh ini adalah akal terakhir dan terendah dalam tingkatan wujud di alam imaterial. Proses emanasi berhenti pada akal kesepuluh, hal ini terkait dengan perkembangan astronomi pada era filosof Muslim masa itu. Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidakberhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al- Farabi.50 Proses emanasi itu adalah sebagai berikut : Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.
Wujud III/Akal II ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
  • dirinya = Bintang-bintang Wujud IV/Akal III ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
  • dirinya=Saturnus Wujud V/Akal IV ------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
  • dirinya=Jupiter Wujud VI/Akal V ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
  • dirinya=Mars Wujud VII/AkalVI ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
  • dirinya=Matahari Wujud VIII/Akal VII ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
  • dirinya=Venus Wujud IX/AkalVIII ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
  • dirinya=Mercury Wujud X/Akal IX ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
  • dirinyaBulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal .Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah. 51 Sepuluh lingkaran geosentris.
       VI . Negara Utama
Sebelum membahas masalah politik beliau membahas tentang psikologi manusia. Menurut beliau setiap manusia memiliki fitrah yang social. Fitrah yang berhubungan dan hidup bersama orang lain. konsep Negara berasal dari plato yang mempersamakan Negara dengan tubuh manusia. Negara Utama, kata beliau serupa dengan badan yang sempurnah sehatnya. Seluruh anggotannya berkerjasama untuk membantu dan menyempurnahkan  serta mempelihara hidupnya. Anggota badan itu berlebih kurang tingkat dan dayanya. Dimana hati merupakan anggota pengendali. Demikian pula halnya negara utama dimana bagian-bagian berlebih kurang tingkatnya dan padanya terhadap seorang kepala sebagai pemimpin. Anggota badan saling melayani, begitu pula dalam negara terdapat warga negara yang saling membantu. Badan itu membentuk suatu kesatuam, demikian pula halnya negara utama yang setiap bagiannya saling berkaitan dan diatur menurut tingkat kadar kepentingan.













D. Analisa

            Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat lebih mendalam. Beliau mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak di ikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar guru ke dua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu.
            Walaupun pemikiran metafisiknya banyak dikritik oleh pemikiran muslim belakangan seperti al-Ghazali. Terutama dalam metafisika emanasi, figur al-farabi masi menarik untuk di diskusikan. Sumbanganya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu politik dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak di ragukan lagi di antara filosof-filosof Islam.

E. Kesimpulan

            Dari uraian makalah tentang Al-farabi, maka dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
    1. Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan, atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi, adalah filosof yang memulai pendidikan dasarnya melalui belajar ilmu agama. Ia menguasai beberapa bahasa, disamping itu ia juga mempelajari matematika dan filsafat..
    2. selain itu ia juga mempunyai pemikiran terhadap kenabian yang ia tunjukkan bagi penganut aliran yang tidak mempercayai Nabi atau Rosul (wahyu) pada zaman itu, dan filsafat kenabian tersebut erat hubungannya dengan teori politiknya yang diuraikannya dalam buku Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah.
    3. Diantara karya-karya al- farabi adalah Aghadlu ma Ba’da at-thabi’ah, Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain, Tahsil as-Sa’adah (mencari kebahagiaan), Uyun ul-Masail (pokok-pokok persoalan), Ih-sha’u al-Ulum (statistik Ilmu),dll.
    4. Masalah ketuhanan Al- Farabi menggunakan pemikiran aristoteles dan neo- platonisme yakni al- maujud al- awwal dengan mengemukakan dalil waib al- wujud dan mumkin al-wujud.
    5. Al-Farabi dikenal sebagai Filosof  Islam terbesar. Memiliki keahlian dalam banyak bidang ke ilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurnah.























DAFTAR PUSTAKA
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: PT Reneka Cipta, 1997
Ichwayudi,  Budi. Filsafat Di Dunia Islam. Surabaya: Jauhar Surabaya, 2008
Anshori, Subkhan. Filsafat Antara Ilmu Dan Kepentingan. Kediri: Pustaka Azhar, 2011
http://makalah-stid.blogspot.com/2009/11/al-farabi.html


[1] Sirajuddin Zar, “ Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 65
[2] Sudarsono, “Filsafat Islam “, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 30
[3] Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 66
[4] Sudarsono, Filsafat Islam”, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 31
[5] Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 67-68
[6] Budi Ichwayudi. “Filsafat Di Dunia Islam”, ( Surabaya: Jauhar Surabaya, 2008), 69
[7] Subkhan Anshori, “Filsafat Islam Antara Ilmu Dan Kepentingan”, (Kediri: Pustaka Azhar, 2011), 39
[8] Ibid., 40
[9] Ibid., 40
[10] http://makalah-stid.blogspot.com/2009/11/al-farabi.html
[11] Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 87-88