- Biografi Al-Farabi
Abu Muhammad Al-Farabi (870-950 M). Beliau
seorang muslim keturunan persi.
Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibnu
Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Beliau dilahirkan pada tahun 257 H/ 870 M.[1]
Sebutan Al-Farabi diambil dari kata Farab, ayah beliau adalah seorang Iran dan
kawin dengan wanita Turkestan. Kemudian beliau menjadi perwira tentara Turkestan. Karena itu, Al-Farabi
dikatakan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan
dari keturunan Iran.
Sejak
kecil Al-Farabi suka belajar dan beliau mempunyai kecakapan luar biasa dalam
lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasai oleh beliau antara lain ialah
bahasa-bahasa Iran,Turkestan, dan Kurdistan. Beliau tidak mengenal bahasa
Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa Ilmu pengetahuan dan filsafat pada
waktu itu.
Setelah
besar, beliau meninggalkan negrinya untuk menuju baghdad, pusat pemerintahan
dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin
Mattius. Selama berada di baghdad beliau memusatkan perhatiannya kepada ilmu
logika.[2]
Al-farabi merupakan bintang terkemuka dikalangan filosof muslim. Ternyata
informasi tentang beliau sangat terbatas. Beliau tidak merekam lika-liku
kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa literatur, Al-Farabi
dalam usia 40 tahun pergi ke baghdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan dunia di kala itu. Beliau belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada
Abu Bakar Al-saraj dan belajar logika serta filsafat kepada seorang kristen,
Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, beliau pindah ke Harran, pusat
kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan
tetapi, tidak berapa lama beliau kembali ke baghdad untuk berdiskusi, mengajar,
mengarang, dan mengulas uku-buku filsafat.[3]
Pada
tahun 330 H (941 m), beliau pindah ke damsyik, dan disini ia mendapat kedudukan
yang baik dari Saifudaulah, Khalifah dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehingga
beliau diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik,
kemudian ia menetap di kota ini sampai wafatnya pada tahun 337H (950 M) pada
usia 80 tahun.[4]
Sebagai filosof Yunani, Al-Farabi
menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh
ketekunan dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Pada pihak lain, dimasa itu
belum ada pemilahan dalam buku-buku antara sain dan filsafat. Berdasarkan karya
tulisnya filosof muslim keturunan persia ini menguasai matematika, kimia,
astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa dan lain-lainnya. Khusus
bahasa , menurut riwayat Al-Farabi menguasai 70 bahasa. Riwayat ini, menurut
Ibrahim Madkur lebih mendekati dongeng ketimang kenyataan yang sebenarnya.
B. Karya-Karya
Tulis Al-Farabi
Diantara
karya-karya tulis Al-farabi ialah :
- Aghadlu ma Ba’da at-thabi’ah
- Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain
- Tahsil as-Sa’adah (mencari kebahagiaan)
- Uyun ul-Masail (pokok-pokok persoalan)
- Ih-sha’u al-Ulum (statistik Ilmu)
- Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadilah (pemikiran-pemikiran penduduk kota Utama Negeri Utama)
- Risalat fi Isbat al-Mufaraqat
- Maqalat fi aqhradh ma ba’d al-Thabi’at
- Maqalat fi Ma’any al-Aql
- Fushul al-Hukm
- Al-Siyasat al-Madaniyah
- Risalah al-Aql .[5]
- Syuruh Risalah Zainun al-Yunani
- Al-Ta’liqat
- Risalah fi ma Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi al-Falsafah
- Al-Masa’il al-Falsafiyah wa al-ajwibiyah anha
- Al-ibanah an Ghardi Aristo fi kitab ma’Ba’da al-Thabi’ah[6]
C. Pemikiran Al-Farabi
Al-Farabi
merupakan orang pertama yang berhasil mengklasifikasikan disiplin ilmu pengetahuan pada masanya. Beliau
membukukan klasifikasi keilmuan itu dalam sebuah karya monumental yang di
namakan sebagai Ikhsha’u al-ilm.[7]
Al-Farabi datang di tengah setting sosio-historis peradapan Islam yang
compang-camping. Peradapan Islam yang dulunya merupakan peradapan sentral, pada
masa Al-Farabi mulai terpecah belah. Tidak ada kesatuan baik dari segi politik,
ideologi maupun pemikiran. Kondisi semacam ini akhirnya mendorong Al-Farabi
untuk menyatukan segala bentuk epistem maupun ideologi yang berkembang pada
masanya. Upaya tersebut dilakukan melalui penanaman filsafat dan ilmu logika
dalam peradapan Arab Islam. Hanya dengan cara itu segala bentuk polemik dan
perpecahan dalam peradapan Islam dapat terselesaikan.
Upaya harmonisasi itu dimulai dengan
penyatuan pemikiran filsafat Aristoteles dan Plato. Al- Farabi berusaha
menghilangkan semua bias perbedaan yang ada dalam dua pemikiran tersebut.
Beliau menganggap bahwa perbedaan antara Aristoteles dan Plato, hanya pada
tatanan metodologi dan tidak sampai pada tatanan konklusi.
Al-Farabi merupakan seorang filosof yang
hidup ditengah-tengah perselisihan dan perpecahan umat Islam. Perpecahan
tersebut disebabkan oleh perbedaan perspekif keabadian alam dan permasalahan
metafisika lainya. Mereka menganggap Aristoteles dan Plato berselisih dalam
permasalahan metafisika. Sehingga untuk menyatukan persepektif umat Islam, maka
kedua filosof besar itu harus di
satukan. Ini mengingat pengaruh ke duannya sangat besar dalam peradaban Islam.[8]
Aristoteles dan Plato merupakan acuan
terpenting dalam filsafat Islam dan perkembangannya ke depan. Dengan kata lain
Al-Farabi menyatukan pemikiran
Aristoteles dan Plato bukan hanya karena dua pemikiran tersebut, melainkan demi
tujuan lain yang lebih urgen, yaitu penyatuan semua bentuk pemikiran yang
berkembang pada masanya. Melalui cara itu Al-Farabi berusaha menyatukan cara
pandang umat Islam dalam menyikapi problem keagamaan, filsafat, politik dan
sosial kemasyarakatan. Penyatuan dua filsafat besar itu diharapkan mampu
memberikan perspektif kolektif dalam peradapan Islam. Bahwa filsafat tidak
bersebrangan dengan ajaran Islam. Sebab, Plato merupakan reprensertasi dari
pemikiran agama, sedangkan Aristoteles adalah representasi dari pemikiran
demostratif rasionalis. Artinya, tidak ada pertentangan antara rasio dengan
wahyu Tuhan.[9]
Pengetahuan dan akal manusia memiliki titik kesamaan dan kesatuan.
Keinginan menyatukan persepektif itu,
secara tidak langsung menunjukkan adanya perselisihan antara kekuatan yang
tidak mungkin di tundukkan. Tidak ada jalan lain bagi Al-Farabi kecuali
menyatukan kekuatan-kekuatan itu melalui penyatuan pemikiran. Dengan menyatukan
antara agama dengan filsafat, ilmu logika dengan gramatika bahasa arab, serta
menyatukan epistemologi bayani, irfani dan burbani, integratasi peradapan Islam
dapat di wujudkan kembali.
Dalam membahas pemikiran Al-Farabi ini membagi
pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika, akal, jiwa dan lain
sebagainya.
- Metafisika
Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai bahasan mengenai
masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam falsafah yang dikenal
dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep wajib dan Mungkin.[9]
Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :
- mukmin wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainya, seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalo sekirannya tidak ada matahari.
- Wajibul wujud lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya, wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya, ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud.
- Kata Al-farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak. Semua yang terjadi di alam semesta selalu bererak yang pada gilirannya, bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak. [10]
II.
jiwa
jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqal. Ia berasal dari
alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa,
berkadar dan bergerak. Dalam jiwa manusia ini mempunyai daya gerak (makan,
memelihara dan berkembang), daya mengetahui ( al-mudrikat) daya ini mendorong
untuk merasa dan berimajinasi, daya berpikir (al-nathiqat) daya ini mendorong
untuk berpikir secara teoretis dan praktis, daya teoritis ini dibagi menjadi
tiga tingkatan yaitu : akal potensial (akal yang baru mempunyai potensi
berpikir), akal aktual ( akal yang telah dapat melepaskan arti-arti dari
materinya,bukan lagi dalam bentuk potensial tetapi sudah dalam bentuk aktual),
akal mustafad ( akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak
di kaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi
dengan akal ke sepuluh). [11]
III.
Akal
Telah di sebutkan bahwa akal,menurut Al-Farabi ada tiga jenis. Pertama, Allah sebagai Akal; kedua, akal-akal dalam filsafat
emanasi,satu sampek sepuluh; ketiga,
akal yang terdapat pada diri manusia. Akal yang jenis pertama dan kedua tidak
berfisik (imateri/rohani) dan tidak menempati fisik. Namun antara keduanya terdapat
perbedaan yang sangat tajam, Allah sebagai akal adalah pencipta dan Esa
semutlak-mutlaknya, maha sempurnah dan tidak mengandung pluralitis. Adapun
jenis akal yang kedua yakni, akal-akal pada filsafat emanasi, akal pertama esa
pada zatnya,tetapi dalam dirinya mengandung keanekaan potensial. Ia diciptakan
oleh Allah sebagai akal, maka objek ta’aqqul-nya ( juga akal-akal lainnya)
tidaklah lagi satu,tetapi sudah dua:Allah sebagai wajib al-wujud dan dirinya
sebagai mukmin al-wujud. Jenis akal ketiga ialah akal sebagai daya berpikir
yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal jenis ini juga tidak berfisik, tetapi
bertempat pada materi. Akal ini bertingkat-tingkat yang terdiri dari Akal
potensial, Akal Aktual, dan Akal Mustafad.
IV Kenabian
Karena pada masa Al-Farabi pemikiran yang berkembang mengenai kenabian
adalah menolak akan kenabian seperti pemikiran Ahmad ibn ishaq al-Ruwandi
dan Zakaria al-Razi, yang menolak akan eksistensi Kenabian. Maka
Al-Farabi yang memiliki pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi
kenabian membuat Al-Farabi mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun
Al-Farabi dikenal sebagai seorang yang rasionalis namun hal itu bukan berarti
ia menolak eksistensi wahyu Tuhan dan Kenabian. Menurutnya Adanya Nabi dan
Rasul yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan potensi jiwa
mereka terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam menangkap informasi
secara utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang yang unggul dari
orang lain. Dengan demikian tidak mustahil bahwa ada orang yang hatinya
mampu menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup. kemudian menurut
Al-Farabi ciri khas seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi mempunyai daya
imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi diluar tidak dapat mempengaruhinya.
Jadi manakala ia menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui aql fa’al
ia mampu berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa
kemampuan seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali
latihan, karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci
(Qudsiyah). Sementara filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal
Mustafad (perolehan) yang sudah terlatih dan kuat daya tangkapnya,
sehingga dapat menerima hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal. Dengan
demikian antara nabi dan filsuf tidak sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah
filsuf sementara tidak semua filsuf itu nabi. Karena adanya unsur pilihan.
Kembali menurut Al-Farabi bahwa karena nabi dan filsuf sama-sama dapat
berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat
pertentangan.
V. Emanasi
Teori emanasi sebagai
basis kosmologi. Artinya bahwa alam semesta ini tercipta sebagai hasil proses
emanasi yang tersusun dalam hierarki-hierarki. Mulai dari Tuhan yang tertinggi.
bahkan melampaui batas apa pun melewati wujud immaterial murni di bawahnya,
hingga wujud paling rendah dari bagian material alam semesta. Menurut teori
emanasi ini, wujud Tuhan sebagai suatu wujud intelegensi (akal) mutlak yang
berpikir tentang dirinya,
"sebelum" adanya wujud-wujud selain-Nya secara otomatis menghasilkan
(memancarkan). Dan akal pertama sebagai hasil pertama proses berpikirnya.
Menurut hadits qudsi, Allah Swt, berfirman: Yang pertama kali aku ciptakan
adalah Sang Akal (pertama). Pada gilirannya, Sang Akal sebagai akal berpikir tentang Allah dan, sebagai hasilnya,
terpancarlah Akal kedua. Proses ini berjalan terus hingga berturut-turut
terciptalah Akal Ketiga, Akal Keempat, Akal Kelima, dan seterusnya hingga Akal
Sepuluh. Akal Sepuluh ini adalah akal terakhir dan terendah dalam tingkatan
wujud di alam imaterial. Proses emanasi berhenti pada akal kesepuluh, hal ini
terkait dengan perkembangan astronomi pada era filosof Muslim masa itu. Dengan
filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa
timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi,
Maha Sempurna dan tidakberhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan
bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi
seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al- Farabi.50 Proses
emanasi itu adalah sebagai berikut : Tuhan sebagai akal, berpikir tentang
diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran
itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama
(First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang
wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal
Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari
situ timbul langit pertama.
Wujud III/Akal II ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
- dirinya = Bintang-bintang Wujud IV/Akal III ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
- dirinya=Saturnus Wujud V/Akal IV ------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
- dirinya=Jupiter Wujud VI/Akal V ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
- dirinya=Mars Wujud VII/AkalVI ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
- dirinya=Matahari Wujud VIII/Akal VII ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
- dirinya=Venus Wujud IX/AkalVIII ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
- dirinya=Mercury Wujud X/Akal IX ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
- dirinyaBulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal
Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal .Tetapi dari Akal Kesepuluh
muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat
unsur api, udara, air dan tanah. 51 Sepuluh lingkaran geosentris.
VI . Negara Utama
Sebelum
membahas masalah politik beliau membahas tentang psikologi manusia. Menurut
beliau setiap manusia memiliki fitrah yang social. Fitrah yang berhubungan dan
hidup bersama orang lain. konsep Negara berasal dari plato yang mempersamakan
Negara dengan tubuh manusia. Negara
Utama, kata beliau serupa dengan badan yang sempurnah sehatnya. Seluruh
anggotannya berkerjasama untuk membantu dan menyempurnahkan serta
mempelihara hidupnya. Anggota badan itu berlebih kurang tingkat dan dayanya.
Dimana hati merupakan anggota pengendali. Demikian pula halnya negara utama
dimana bagian-bagian berlebih kurang tingkatnya dan padanya terhadap seorang
kepala sebagai pemimpin. Anggota badan saling melayani, begitu pula dalam
negara terdapat warga negara yang saling membantu. Badan itu membentuk suatu
kesatuam, demikian pula halnya negara utama yang setiap bagiannya saling
berkaitan dan diatur menurut tingkat kadar kepentingan.
D. Analisa
Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa al-Farabi sebagai
filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat lebih mendalam. Beliau mendirikan tonggak-tonggak
filsafat Islam yang kemudian banyak di ikuti oleh filosof Islam yang lain.
Gelar guru ke dua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina
filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk itu.
Walaupun pemikiran metafisiknya banyak dikritik oleh pemikiran muslim
belakangan seperti al-Ghazali. Terutama dalam metafisika emanasi, figur
al-farabi masi menarik untuk di diskusikan. Sumbanganya dalam bidang fisika,
metafiska, ilmu politik dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi
terkemuka yang tidak di ragukan lagi di antara filosof-filosof Islam.
E. Kesimpulan
Dari uraian makalah tentang Al-farabi, maka dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut :
- Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan, atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi, adalah filosof yang memulai pendidikan dasarnya melalui belajar ilmu agama. Ia menguasai beberapa bahasa, disamping itu ia juga mempelajari matematika dan filsafat..
- selain itu ia juga mempunyai pemikiran terhadap kenabian yang ia tunjukkan bagi penganut aliran yang tidak mempercayai Nabi atau Rosul (wahyu) pada zaman itu, dan filsafat kenabian tersebut erat hubungannya dengan teori politiknya yang diuraikannya dalam buku Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah.
- Diantara karya-karya al- farabi adalah Aghadlu ma Ba’da at-thabi’ah, Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain, Tahsil as-Sa’adah (mencari kebahagiaan), Uyun ul-Masail (pokok-pokok persoalan), Ih-sha’u al-Ulum (statistik Ilmu),dll.
- Masalah ketuhanan Al- Farabi menggunakan pemikiran aristoteles dan neo- platonisme yakni al- maujud al- awwal dengan mengemukakan dalil waib al- wujud dan mumkin al-wujud.
- Al-Farabi dikenal sebagai Filosof Islam terbesar. Memiliki keahlian dalam banyak bidang ke ilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurnah.
DAFTAR PUSTAKA
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam
Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2004
Sudarsono. Filsafat Islam.
Jakarta: PT Reneka Cipta, 1997
Ichwayudi, Budi. Filsafat Di Dunia Islam. Surabaya:
Jauhar Surabaya, 2008
Anshori, Subkhan. Filsafat Antara
Ilmu Dan Kepentingan. Kediri: Pustaka Azhar, 2011
http://makalah-stid.blogspot.com/2009/11/al-farabi.html
[1]
Sirajuddin Zar, “ Filsafat Islam Filosof
dan Filsafatnya”, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004), 65
[2]
Sudarsono, “Filsafat Islam “, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1997), 30
[3]
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam Filosof
dan Filsafatnya”, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004), 66
[4]
Sudarsono, Filsafat Islam”, (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1997), 31
[5]
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam Filosof
dan Filsafatnya”, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004), 67-68
[6] Budi Ichwayudi. “Filsafat Di Dunia Islam”, ( Surabaya:
Jauhar Surabaya, 2008), 69
[7] Subkhan
Anshori, “Filsafat Islam Antara Ilmu Dan
Kepentingan”, (Kediri:
Pustaka Azhar, 2011), 39
[8] Ibid.,
40
[9] Ibid.,
40
[10] http://makalah-stid.blogspot.com/2009/11/al-farabi.html
[11]
Sirajuddin Zar, “Filsafat Islam Filosof
dan Filsafatnya”, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004), 87-88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar